Cari Blog Ini

Translate

Habib Al – Ajami dari Bashrah Hati Yang Putih



“ Ketika ditanya apa rahasianya sehingga dapat berjalan di atas air, Habib menjawab,
“Dengan memutihkan hati.”

Habib Al-Ajami,yang telah bertaubat dari pekerjaannya sebagai seorang lintah darat, melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial yang sungguh mulia. Diantaranya karena bencana kelaparan melanda kota Bashrah, dengan berutang Habib membeli banyak bahan pangan dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.
Setiap hari Habib menggulung kantung uangnya dan menaruh di atas lantai. Apabila para pemberi utang datang untuk menagih utang, barulah kantung itu dikeluarkannya. Ajaib, ternyata kantung itu sudah penuh dengan kepingan dirham. Dari situlah dilunasinya semua utangnya.
Habib Al-Ajami, yang hidup sekitar abad kedua Hijriyyah, dalam khazanah Islam, selain sebagai sufi, juga dikenal sebagai ahli hadits. Ia merawikan hadits-hadits dari Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, dan tabi’in lainnya.
Dalam pergaulannya dengan Hasan Al-Bashri (w.110 H/728 M), terjadi beberapakejadian unik. Hasan Al- Bashri adalah penasehat, guru, teman, dan juga sahabat yang setia yang selalu membimbingnya ke jalan kebenaran.
Dalam kitab Al-Kasyful Mahjub disebutkan, suatu pagi, saat Hasan Al-Bashri lewat di depan biliknya, Habib mengumandangkan adzan lalu berdiri melakukan sholat. Hasan masuk, tetapi tidak mau berjama’ah dengannya, karena Habib tidak bisa berbahasa Arab dengan fasih atau membaca Al-Qur’an dengan baik.
Di malam yang sama, Hasan bermimpi bertemu Tuhan dan bertanya kepada-Nya, “Ya Allah, dimana gerangan kenikmatan itu?”
Allah menjawab,”Wahai Hasan, engkau menemukan nikmatmu, tetapi tidak tahu artinya : jika kemarin malam engkau shalat di belakang Habib, dan jika ketulusan niatnya tidak menghalangimu untuk menolak kefasihannya, pasti Aku akan berkenan memberi nikmat kepada-mu.”
Menurut Al-Hujwiri, pengarang kitab Al-Kasyful Mahjub, peristiwa seperti ini merupakan pengetahuan yang biasa di kalangan sufi.
Tak Terlihat Pasukan Zhalim
Dalam kitab Tadzkirotul Auliya’ dikisahkan, rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya, baik di musim panas maupun di musim dingin.
Sekali peristiwa, ketika hendak bersuci, Habib melepaskan mantel itu dan dengan santai melemparkannya ke atas tanah.
Tidak berapa lama, Hasan Al-Bashri lewat di tempat itu. Melihat mantel Habib yang terletak di atas jalan , ia bergumam,”Dasar Habib seorang Ajami (bukan orang Arab), tak peduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bisa-bisa hilang nanti.”
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut. Tak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai, imam kaum muslimin, mengapa engkau berdiri disini?” tanya Habib.”Tahukah engkau, mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan, kepada siapakah engkau menitipkan mantel ini?”
“Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya kepadamu,” jawab Habib.
Di lain kisah, pada suatu hari Hasan berkunjung kerumah Habib. Kepadanya Habib menghidangkan dua potong roti gandum dan sedikit garam.
Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap suguhan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan semua potongan roti beserta garam itu kepada sang pengemis.
Hasan terheran-heran lalu berkata, “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Namun alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau hidangkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu.”
Habib tidak memberikan jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba panggang, panganan yang manis-manis, dan uang lima ratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Hasan.
Pernah suatu kali, Hasan Al-Bashri dikejar-kejar prajurit-prajurit Gubernur Hajjaj (w. 95 H/714 M), yang terkenal kejam. Hasan bersembunyi di tempat Habib berkhalwat.
Para perwira itu bertanya kepada Habib, “Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?
Habib menjawab dengan enteng, “ Ya, aku telah melihatnya.”
“Dimanakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam rumah ini.”
Para perwira tersebut memasuki rumah Habib dan mengadakan penggeledahan, tetapi mereka tidak berhasil menemukan Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka,”Hasan mengisahkan,”tetapi mereka tidak melihat diriku.”
Ketika hendak meninggalkan rumah itu, Hasan mencela Habib, ”Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku.”
“Guru, karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap.’’
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?”
“Aku membaca Ayat Kursi (QS 2 : 255) sepuluh kali, ‘Amanar Rasul’ (QS 2 : 285) sepuluh kali, dan ‘Katakan, Allah itu Esa’ (QS 112 : 1) sepuluh kali. Setelah itu aku berdoa,” Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia,”
Sementara dalam versi Al-Kasyful Mahjub dikisahkan, ketika lolos dari pencarian itu dan kemudian keluar, Hasan Al-Bashri berkata kepada Habib,”Aku berutang kepada doamu, sehingga Allah tidak mempertemukankudengan orang-orang jahat itu, tetapi kenapa engkau mengatakan bahwa aku ada disini?”
Habib menjawab, “Tuan, mereka tidak bisa melihat engkau bukan karena doa saya, akan tetapi berkah karena saya berkata yang sebenarnya.”
Berjalan di Atas Air
Suatu kali, ketika ingin pergi ke suatu tempat, Hasan menyusuri tebing-tebing di pinggir sungai Tigris sambil merenung-renung.
Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.
“Imam, mengapa engkau berada di tempat ini?” Habib bertanya.
“Aku ingin pergi ke suatu tempat tetapi perahu belum juga tiba,”jawab Hasan.
“Guru, apakah yang terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain dari dalam dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarlah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia yang sangat berharga, dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air,”
Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke permukaan air dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Melihat kejadian ini, Hasan merasa pusing dan jatuh pingsan.
Ketika ia siuman, orang-orang bertanya kepadanya,”Wahai imam kaum muslimin, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”
“Baru saja muridku Habib mencela diriku, setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan ‘Laluilah jalan yang berada di atas api  yang menyala-nyala’ sedang hatiku masih lemah seperti sekarang ini, apakah dayaku?”
Di kemudian hari Hasan bertanya kepada Habib,”Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan karamah-karamah itu?”
Habib menjawab ,”Dengan memutihkan hatiku, sementara engkau menghitamkan kertas.”
Hasan berkata,”Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain.”

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Flag Counter