Cari Blog Ini

Translate

Kuyakini

kuyakini jika inilah sebuah penyelamatan
bentuk cinta dari Tuhan
karena jika masih ada sandaran
aku takkan menggunakan kakiku untuk berjalan

Kuyakini jika ini adalah sebuah penyembuhan
dari segala jerat emosi yang melemahkan
entah atas nama ketulusan atau perhatian
yang membuat tanganku enggan melepaskan pegangan

kini aku mampu berjalan
memungut hikmah yang sempat kuacuhkan
karena terlampau aku merasa nyaman
pada anugerah dan keindahan

Terima kasih Tuhan
kini aku tahu bagaimana harus bertahan
dan melenyapkan kenyerian
meski hampa kadang masih menyesatkan.,

SYEKH IHSAN BIN DAHLAN JAMPES KEDIRI SYEKH IHSAN SANG PELITA DUNIA

Islam di wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di DSalah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran usun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.

Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, tetapi hingga pada persoalan fikih.

Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes. Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Air.

Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.

Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.

MEMBACA DAN MENULIS

Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), ‘Tiada Hari tanpa Membaca’. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga bahasa Indonesia.

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932, ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin .Kitab Siraj Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia.

Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad , penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.

Selain Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan , sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.

Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan(kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih remaja.

Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya ‘Bakri’. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.

Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat.

Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya.”Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu,” kata kakek tersebut.

Ia bertanya dalam hati, ”Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,” timpal Syekh Ihsan.Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ”Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.”

Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).

Tawaran Raja Mesir

Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin . Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan ‘MMH’ (Madrasah Mufatihul Huda).

Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.

Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf

Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad pertengahan.

Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan.

Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Darul Fiqr–sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.

Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.

Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pasca sarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia.

Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika.

Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar luas di Indonesia.

Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari (Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad Yunus Abdullah (Kediri).

Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniawian.

Kisah Imam Al-Ghazali Belajar Membersihkan Hati

Banyak cerita menarik seputar Imam Al Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya, melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Al Ghazali. Saking berterima kasihnya Al Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik.

Alkisah, suatu hari ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama, Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :
"Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya".
Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu untuk shalat bermakmum kepada Al Ghazali, 

Ketika Al Ghazali menjadi Imam shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun (Muffaragah) membatalkan makmum kepada kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.”

Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami ilmu tasawuf.

Al Ghaali bertanya kepada adiknya Ahmad : "Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu" ? Saudaranya menjawab, "Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas. Al Ghazali lalu pergi kepadanya" .
Dia berkata kepada Syekh Al khurazy : " Saya ingin belajar kepada Tuan ". Syekh itu berkata : Mungkin engkau tidak sanggup mengikuti perintah-perintahku ".
Al Ghazali menjawab : "Insya Allah, saya kuat ".
Syekh Al Khurazy berkata : "Bersihkanlah (sepuluh) lantai ini ".
Al Ghazali laku hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : " sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu ". Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.
Namun Syekh berkata : " bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu ".
Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : " Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu " .

Al Ghazali menuruti perintah Syekh tersebut dengan hati yang ridha dan ikhlas.
Tetapi begitu Al Ghazali akan memulai melaksanakan perintah Syekh, beliau langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang. Al Ghazali pulang dan setibanya dirumah beliau mendapat ilmu pengetahuan yang luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari ilmu tasawuf atau kebersihan hati kepadanya.

Maka sejak itu ia memutuskan untuk menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah yang tujuan akhirnya disebut makrifat. Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah, tetapi juga mengenal alam semesta. Hakikat dan Makrifat bukan hanya pengenalan biasa, meliankan juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru.

Makrifat sebenarnya diperoleh melalui llham. Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain keyakinan kepada Allah. Kalbu harus total berdzikir kepada Allah sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).

Al-Ghazali telah meninggalkan pengaruh paling besar atas sejarah Islam didunia

Biografi Ibnul Qayyim al-Jauziyah

Beliau adalah Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariiz bin Maki Zainuddin az-Zura’I ad-Dimasyqi al-Hanbali. Yang lebih terkenal dengan panggilan Ibnul Qayyim al-Jauziyah.

Perjalanan beliau dalam Menuntut Ilmu

Ibnul Qayyim rahimahullah tumbuh berkembang di keluar yang dilingkupi dengan ilmu, keluarga yang religius dan memiliki banyak keutamaan. Ayahanda, Abu Bakar bin Ayyub az-Zura’i beliau adalah pengasuh di al-Madrasah al-Jauziyah. Disinilah al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah belajar dalam asuhan dan bimbingan ayahanda beliau dan dalam arahannya yang ilmiyah dan selamat.

Dalam usia yang relatif beliau, sekitar usia tujuh tahun, Imam Ibnul Qayyim telah memulai penyimakan hadits dan ilmu-ilmu lainnya di majlis-majlis para syaikh/guru beliau. Pada jenjang usia ini beliau rahimahullah telah menyimak beberapa juz berkaitan dengan Ta’bir ar-Ruyaa (Tafsir mimpi) dari syaikh beliau Syihabuddin al-‘Abir. Dan juga beliau telah mematangkan ilmu Nahwu dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya pada syaikh beliau Abu al-Fath al-Ba’labakki, semisal Alfiyah Ibnu Malik dan selainnya.

Beliau juga telah melakukan perjalan ke Makkah dan Madinah selama musim haji. Dan beliau berdiam di Makkah. Juga beliau mengadakan perjalanan menuju Mesir sebagaimana yang beliau isyaratkan dalam kitab beliau Hidayah al-Hiyaraa dan pada kitab Ighatsah al-Lahafaan.

Ibnu Rajab mengatakan, “Beliau melakukan beberapa kali haji dan berdiam di Makkah. Penduduk Makkah senantiasa menyebutkan perihal beliau berupa kesungguhan dalam ibadah dan banyaknya thawaf yang beliau kerjakan. Hal mana merupakan suatu yang menakjubkan yang tampak dari diri beliau.” Dan disaat di Makkah inilah beliau menulis kitab beliau Miftaah Daar as-Sa’adah wa Mansyuur Wilayaah Ahlil-Ilmi wal-Iradah.

Keluasan Ilmu Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Dan Pujian Ulama terhadap beliau

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sangat menonjol dalam ragam ilmu-ilmu islam. Dalam setiap disiplin ilmu beliau telah memberikan sumbangsih yang sangat besar.

Murid beliau, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, mengatakan, “Beliau menyadur fiqh dalam mazhab Imam Ahmad, dan beliau menjadi seorang yang menonjol dalam mazhab dan sebagai seorang ahli fatwa. Beliau menyertai Syaikhul Islam Taqiyuddin dan menimba ilmu darinya. Beliau telah menunjukkan kemahiran beliau dalama banyak ilmu-ilmu Islam. Beliau seorang yang mengerti perihal ilmu Tafsir yang tidak ada bandingannya. Dalam ilmu Ushul Fiqh, beliau telah mencapai puncaknya. Demikian pula dalam ilmu hadits dan kandungannya serta fiqh hadits, segala detail inferensi dalil, tidak ada yang menyamai beliau dlam hal itu. Sementara dalam bidang ilmu Fiqh dan ushul Fiqh serta bahasa Arab, beliau memiliki jangkauan pengetahuan yang luas. Beliau juga mempelajari ilmu Kalam dan Nahwu serta ilmu-ilmu lainnya. Beliau seorang yang alim dalam ilmu suluk serta mengerti secara mendalam perkataan dan isyarat-isyarat ahli tasawuf serta hal-hal spesifik mereka. Beliau dalam dalam semua bidang keilmuan ini memiliki jangkauan yang luas.”

Murid beliau yang lain, yakni al-Hafizh al-Mufassir Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau menyimak hadits dan menyibukkan diri dalam ilmu hadits. Dan beliau menunjukkan kematangan dalam banyak ragam ilmu Islam terlebih dalam ilmu Tafsir, hadits dan Ushul Fiqh serta Qawa`id Fiqh. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali ke negeri Mesir, beliau lalu mulazamah kepadanya hngga Syaikhul islam wafat. Beliau menimba ilmu yang sangat banyak darinya disertai dengan kesibukan beliau dalam hal ilmu sebelumnya. Akhirnya beliau adalah yang paling diunggulkan dalam banyak ilmu-ilmu Islam, …”

Adz-Dzahabi berkata, “Beliau telah memberikan perhatian pada ilmu hadits, matan maupun tentang hal ihwal perawinya. Dan beliau juga berkecimpung dalam ilmu fiqh, dan membaguskan penempatannya, …”
Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau menguasai banyak ilmu-ilmu Islam telebih dalam ilmu tafsir, ushul baik berupa inferensi zhahir maupun yang tersirat (mafhum).”

Al-‘Allamah ash-Shafadi mengatakan, “Beliau sangat menyibukkan diri dengan ilmu dan dalam dialog. Juga bersungguh-sungguh dan terfokuskan dalam menuntut ilmu. Beliau telah menulis banyak karya ilmiyah dan menjadi salah seorang dari imam-imam terkemuka dalam ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh maupun ushul ilmu kalam, cabang-cabang ilmu bahasa Arab. Syaikhul islam Ibnu Taimiyah tidaklah meninggalkan seorang murid yang semisal dengannya.”

Pujian juga datang dari banyak ulama besar lainnya, semisal dari imam al-‘Allamah Ibnu Taghribardi, al-‘Allamah al-Miqriizi, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalaani, al-Imam asy-Suyuthi, al-‘allamah asy-Syaukani dan selainnya.

Guru-guru beliau

Berikut ini adalah nama-nama masyaikh/guru-guru beliau yang terkenal,

Ayahanda beliau yaitu Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zura’I ad-Dimasyqi. Dimana Ibnul Qayyim menyadur ilmu Faraidh dari beliau.
Abu Bakar bin Zainuddin Ahmad bin Abdu ad-Daa`im bin Ni’mah an-Naabilisi ash-Shalihi. Beliau dijuluki al-Muhtaal. (wafat 718 H)
Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abil-Qasim bin Taimiyah al-Harrani ad-Dimasyqi al-Hanbali. (wafat 728 H). Beliau adalah guru Ibnul Qayyim yang paling populer, dimana Ibnul Qayyim rahimahullah mulazamah dalam banyak bidang-bidang keilmuan darinya.
Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdurrahman bin Abdul Mun’im bin Ni’mah Syihabuddin an-Nabilisi al-Hanbali. 9wafat 697 H).
Syamsuddin abu Nashr Muhammad bin ‘Imaduddin Abu al-Fadhl Muhammad bin Syamsuddin Abu Nashr Muhammad bin Hibatullah al-Farisi ad-Dimasyqi al-Mizzi. (wafat 723 H)
Majduddin Abu Bakar bin Muhammad bin Qasim al-Murasi at-Tuunisi. 9wafat 718 H)
Abu al-Fida` Ismail bin Muhammad bin Ismail bin al-Farra` al-Harrani ad-Dimasyqi, syaikhul Hanabilah di Damaskus. (wafat 729 H)
Shadruddin Abu al-Fida` Ismail bin Yusuf bin Maktum bin Ahmad al-Qaisi as-Suwaidi ad-Dimasyqi (wafat 716 H)
Zainuddin Ayyub bin Ni’mah bin Muhammad bin Ni’mah an-Naabilisi ad-Dimasyqi al-Kahhaal. (wafat 730 H).
Taqiyuddin Abu al-Fadhl Sulaiman bin Hamzah bin Ahmad bin Umar bin qudamah al-Maqdisi ash-Shalihi al-Hanbali. (wafat 715 H).
Syarafuddin Abdullah bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harrani ad-Dimasyqi, saudara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (wafat 727 H).
‘Alauddin Ali bin al-Muzhaffar bin Ibrahim Abul hasan al-Kindi al-Iskandari ad-Dimasyqi. (wafat 716 H)
Syarafuddin Isa bin Abdurrahman bin Ma’aali bin Ahmad al-Mutha’im Abu Muhammad al-Maqdisi ash-Shalihi al-hanbali. (wafat 717 H)
Fathimah binti asy-Syaikh Ibrahim bin Mahmud bin Jauhar al-Ba’labakki. (wafat 711 H).
Baha`uddin Abul al-Qasim al-Qasim bin asy-Syaikh Badruddin Abu Ghalib al-Muzhaffar bin Najmuddin bin Abu ats-Tsanaa` Mahmud bin Asakir ad-Dimasyqi. (wafat 723 H).
Qadhi Qudhaat Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’adullah bin Jama`ah al-Kinaani al-Hamawi asy-Syafi’i. (wafat 733 H).
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu al-Fath bin Abu al-Fadhl al-Ba’labakki al-Hanbali. (wafat 709 H)
Shafiyuddin Muhammad bin Abdurrahim bin Muhammad al-Armawi asy-Syafi’I al-Mutakallim al-Ushuli, Abu Abdillah al-Hindi. (wafat 715)
Al-Hafizh Yusuf bin Zakiyuddin Abdurrahman bin Yusuf bin Ali al-Halabi al-Mizzi ad-Dimasyqi. (wafat 742 h).
Murid-murid beliau

Ketenaran al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah serta kedudukan ilmiyah beliau yang tinggi menjadikan banyak klangan ulama terkenal yang mengagungkan dan berguru kepada beliau. Demikian banyak ulama dan selain mereka yang mengambil ilmu dan berdesakan di majlis Ibnul Qayyim rahimahullah. Dari mereka yang menimba ilmu dari Ibnul Qayyim, bermunculan para pakar dibidang ilmu tertentu. Diantara murid-murid beliau,

Anak beliau Burhanuddin bin al-Imam Ibnul Qayyim.
Anak beliau Jamaluddin bin al-Imam Ibnul Qayyim.
Al-Hafizh al-Mufassir Abu al-Fida` Ismail bin Umar bin Katsir al-Qaisi ad-Dimasyqi.
Al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hasani al-Baghdadi al-Habali.
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul hadi bin Yusuf bin Qudamah al-Maqdisi ash-Shalihi.
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Qadir bin Muhyiddin Utsman al-Ja’fari an-Naabilisi al-Hanbali.
Dan lain sebagainya.
Kepribadian Syaikhul Islam Ibnul Qayyim

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah, selain dikenal dengan keluasan ilmu dan pengetahuan beliau akan ilmu-ilmu Islam, beliau juga seorang yang tidak melupakan hubungan beliau dengan penciptanya. Adalah beliau seorang yang dikenal dengan sifat-sifat mulia, baik dalam ibadah maupun akhlak dan prilaku beliau. Beliau adalah seorang yang senantiasa menjaga peribadatan dan kekhusyu’an dalam ibadah. Selalu berinabah dan menundukkan hati kepada-Nya. Seluruh waktu beliau habis tercurah untuk wirid, dzikir dan ibadah. Beliau juga seorang yang dikenal dengan banyaknya tahajjud, sifat wara`, zuhud, muraqabah kepada Allah dan segala bentuk amal-amal ibadah lainnya. Kitab-kitab beliau semisal Miftaah Daar as-Sa’adah, Madaarij as-Salikin, al-Fawaa`id, Ighatsah al-ahafaah, thariiq al-Hijratain dan selainnya adalah bukti akan keutamaan beliau dalam hal ini.

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-hanbali berkata, “Adalah beliau seorang yang selalu menjaga ibadah dan tahajjud. Beliau seringkali memanjangkan shalat hingga batas yang lama, mendesah dan berdesis dalam dzikir, hati beliau diliputi rasa cinta kepada-Nya, senantiasa ber-inabah dan memohon ampunan dari-Nya, berserah diri hanya kepada Allah, … tidaklah saya pernah melihat yang semisal beliau dalam hal itu, dan juga saya belum pernah melihat seseorang yang lebih luas wawasan keilmuan dan pengetahuan akan kandungan makna-makna al-qur`an dan as-Sunnah serta hakikat kimanan dari pada beliau. Beliau tidaklah ma’shum, akan tetapi saya belum melihat semisal beliau dalam makna tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, menyifati panjangnya shalat beliau, “Saya tidak mengetahui seorang alim di muka bumi ini pada zaman kami yang lebih banyak ibadahnya dibandingkan dengan beliau. Beliau sangatlah memanjangkan shalat, melamakan ruku’ dan sujud, …”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menyifati diri beliau, “Beliau rahimahullah, biasanya setelah mengerjakan shalat shubuh duduk ditempat beliau berdzikir kepada Allah hingga hari telah meninggi.”
Dan adalah beliau –Ibnul Qayyim- berkata, “Dengan kesabaran dan kemiskinan akan teraih kepemimpinan dalam hal agama.”
Dan beliau juga berkata, “Haruslah bagi seorang yang meniti jalan hidayah memiliki kemauan kuat yang akan mendorongnya dan mengangkatnya serta ilmu yang akan menjadikannya mengerti/yakin dan memberinya hidayah/petunjuk.”

Sementara akhlak dan kepribadian beliau dalam mu’amalah, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir, “Beliau seorang yang sangat indah bacaan al-qur`an-nya serta akhlak yang terpuji. Sangat penyayang, tidak sekalipun bliau hasad kepada seseorang dan tidka juga menyakitinya. Beliau tidak pernah mencerca dan berlaku dengki kepada siapapun juga. Saya sendiri adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai beliau.”
Beliau juga mengatakan, “Dan sebagian besa ryang tampak pada diri beliau adalah keaikan dan akhlak yang shalih.”

Karya Ilmiah beliau

Karya ilmiyah syaikhul islam Ibnul Qayyim sangatlah banyak dan dalam berbagai jenis disiplin keilmuan. Asy-Syaikh al-‘Allamah Bakr bin Abu Zaid mengumpulkan karya ilmiyah beliau dan mencapai 96 judul, diantaranya yang populer,

Kitab Zaad al-Ma’ad al-hadyu ilaa Sabiil ar-Rasyaad.
A’laam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamiin.
Ahkaam Ahli adz-Dzimmah.
Madaarij as-Saalikin.
Tuhfah al-Maudud bi-Ahkaam al-mauluud.
Ath-Thuruq al-Hukmiyah fii as-Siyasah asy-Syar’iyah.
Ighatsah al-Lahafaan.
Ash-Shawaa`iq al-Mursalah ‘ala al-Jahmiyah wal-Mu’aththilah.
Al-Furusiyah.
Ash-shalah wa Hukmu Taarikihaa.
Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththliah wal-Jahmiyah.
Syifa`u al-‘alil fii Masaa`il al-Qadha` wal-Qadar wal-Hikmah wat-Ta’liil.
Al-Kafiyah asy-Syafiyah fii al-Intishar lil-Firqah an-Najiyah.
‘Iddah ash-Shabirina wa Dzakhirah asy-Syakirin.
Ad-Daa`u wad-Dawaa’u
Bada’I al-Fawaa`id.
Al-Fawaa`id
Miftaah Daar as-Sa’adah
Al-Manaar al-Muniif fii ash-Shahih wadh-Dha’if.
Tahdzib Sunan Abi Dawud wa iidhah Muskilaatihi wa ‘Ilalihi.
Hidayah al-Hiyaara fii Ajwibah al-Yahuud wan-Nashaara.
Dan masih banyak lagi lainnya.
Wafat beliau

Beliau wafat pada malam kamis pada tanggal tiga belas Rajab pada sat adzan isya tahun 751 H. Dimana beliau telah memasuki usia enam puluh tanuh. Dan beliau dishalatkan pada keesokan harinya di masjid jami’ al-Umawi setelah shalat dhuhur. Dan beliau dimakamkan di pemakaman al-Bab ash-shaghir disambing makam ibnuda beliau. Pemakaman beliau turut dipersaksikan oleh para qadhi, kaum terkemuka, tokoh-tokoh agama dan pemerintahan serta orang-orang yang shalih dan khalayak ramai. Semoga Allah merahmati beliau dan melapangkan kediaman beliau dialam berikutnya.

Imam Syafi’i Yang Jenius

 Dikisahkan bahwa sebagian ulama terkemuka di Irak iri kepada Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu. Mereka membuat tipu daya kepadanya lantaran beliau lebih unggul dari mereka dari segi ilmu dan hikmah. Imam Syafi’i mendapatkan hati para pencari ilmu pengetahuan sehingga mereka hanya berminat dengan majelis pengajian beliau, mereka hanya mau tunduk dengan pendapat dan ilmu beliau. Oleh karena itulah, para ulama yang iri terhadap Imam Syafi’i membuat kesepakatan di antara mereka untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki. Sehingga mereka dapat menguji kecerdasan beliau, seberapa mendalam dan seberapa matang ilmu beliau di hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid yang sangat kagum dengan beliau dan sering memuji beliau. Setelah mereka selesai membuat pertanyaan-pertanyaan, mereka menyampaikan kepada khalifah yang ikut hadir dalam diskusi dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab oleh Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu dengan penuh kecerdasan dan kefasihan.

Berikut ini soal jawab tersebut:

Soal 1: Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyembelih kambing di rumahnya kemudian dia keluar untuk suatu keperluan, lalu dia kembali lagi lantas dia berkata kepada keluarganya, “Makanlah kambing ini. Sungguh kambing ini haram bagiku.” Keluarga pun berkata, “Demikian juga haram bagi kami?”

Jawab 1: Sesungguhnya laki-laki tersebut orang musyrik. Dia menyembelih kambaing atas nama berhala, lalu dia keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan, dan ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepadanya untuk memeluk agama Islam, sehingga dia masuk Islam. Maka, kambing tersebut haram baginya. Ketika para keluarganya tahu bahwa lelaki tersebut masuk Islam, maka mereka pun ikut masuk Islam. Maka, kambing tersebut juga diharamkan atas mereka.

Soal 2: Ada dua muslim yang sama-sama berakal minum arak. Salah satunya dikenai hukuman sedangkan yang lainnya tidak dikenai hukuman?

Jawab 2: Sebab salah satunya baligh sedangkan lainnya masih kecil

Soal 3: Ada lima orang melakukan zina terhadap seorang perempuan, maka orang pertama harus dibunuh, orang kedua dirajam, orang ketiga dikenai hukuman zina, orang keempat dikenai separuh hukman zina, dan orang kelima tidak dikenai sanksi apapun?

Jawab 3: Orang pertama menganggap zina perbuatan halal, sehingga dia murtad dan dia harus dibunuh. Orang kedua adalah muhshan (orang yang pernah menikah). Orang ketiga adalah ghairu muhshan (belum pernah menikah). Orang keempat adalah seorang budak. Sedangkan orang kelima adalah orang gila.

Soal 4: Ada seorang laki-laki melaksanakan shalat. Setelah dia mengucap salam ke kanan, istrinya tertalak. Ketika dia mengucap salam ke kiri, maka shalatnya batal, dan ketika dia melihat ke langit, maka dia waijb membayar seribu dirham?

Jawab 4: Pada saat dia mengucap salam ke kanan, dia melihat seseorang yang istrinya dia nikahi ketika dalam keadaan suami sedang ghaib (tidak ada). Maka, ketika dia melihat suaminya datang, istrinya tertalak. Pada saat dia mengucap salam ke kiri, dia melihat najis pada pakaiannya, maka shalatnya batal. Pada saat dia melihat ke langit, dia melihat hilal (bulan sabit) telah tampak di langit dan dia mempunyai hutang seribu dirham yang seharusnya dibayar pada awal bulan sejak munculnya hilal.

Soal 5: Ada seorang imam melaksanakan shalat bersama empat orang di dalam masjid, lantas ada seseorang yang masuk dan ikut melakukan shalat di sebelah kanan imam. Ketika imam mengucap salam ke kanan dan melihat lelaki tersebut, maka si imam wajib dibunuh sedangkan keempat makmum lainnya, wajib didera dan masjid tersebut wajib dirobohkan sampai ke dasarnya.

Jawab 5: Sesungguhnya lelaki yang baru datang mempunyai seorang istri. Kemudian dia pergi dan menitipkan istrinya di rumah saudaranya, lalu si imam membunuh sang saudara tersebut. Si imam mengklaim bahwa perempuan tersebut merupakan istri orang yang terbunuh, lalu dia menikahi perempuan tersebut. Sedang empat orang yang ikut melaksanakan shalat adalah saksi pernikahan mereka. Lalu, masjid tersebut merupakan rumah orang yang terbunuh yang dijadikan sebagai masjid oleh si imam.

Soal 6: Bagaimana pendapatmu mengenai seseorang yang budaknya kabur, lalu dia berkata, “Budak tersebut statusnya merdeka jika saya makan sebelum saya menemukannya.” Bagaimana solusi dari ucapan tersebut?

Jawab 6: Dia memberikan budaknya kepada sebagian anaknya, kemudian dia makan, lalu dia meminta lagi budak yang telah diberikannya.

Soal 7: Dua orang perempuan bertemu dua lelaki muda, lalu kedua perempuan tersebut berkata, “Selamat datang dua anak kami, dua suami kami, dan dua anak suami kami?”

Jawab 7: Sesungguhnya dua lelaki muda tersebut merupakan anak dari kedua perempuan terebut. Lantas masing-masing dari kedua perempuan tersebut menikah dengan laki-laki perempuan satunya. Jadi, kedua lelaki muda tersebut merupakan anak dari kedua perempuan tersebut, suami dari kedua perempuan tersebut, dan anak dari (mantan) suami dari kedua perempuan tersebut.

Soal 8: Seorang laki-laki mengambil segelas air untuk diminum. Dia dihalalkan minum separuhnya. Tetapi diharamkan baginya minum air yang masih tersisa di gelas?

Jawab 8: Sesungguhnya lelaki tersebut baru minum separuh gelas lalu dia mimisan dan menetes pada air yang masih tersisa di dalam gelas, sehingga darah tercampur dengan air. Maka, sisa air tersebut diharamkan baginya.

Soal 9: Seorang laki-laki memberikan kepada istrinya satu kantong yang terisi penuh dan terkunci. Dia meminta kepada istrinya agar mengosongkan isinya dengan syarat dia tidak boleh membukanya, membelahnya, merusak kuncinya atau membakarnya. Jika dia melakukan salah satu dari hal tersebut, maka dia tertalak?

Jawab 9: Sesungguhnya kantong tersebut berisi gula atau garam. Yang dapat dilakukan si istri ialah menaruh kantong tersebut di dalam air, sehingga isi kantong meleleh dengan sendirinya.

Soal 10: Ada seorang lelaki dan seorang perempuan bertemu dua anak muda di jalan, lantas keduanya mencium kedua anak muda tersebut. Ketika keduanya ditanya mengenai perbuatan tersebut, si lelaki menjawab, “Ayahku adalah kakek keduanya. Saudaraku adalah paman keduanya. Istriku adalah istri ayah keduanya.” Sedangkan si perempuan menjawab, “Ibuku adalah nenek keduanya, saudara perempuanku adalah bibi keduanya.”

Jawab 10: Sesungguhnya si lelaki merupakanj ayah kedua anak muda tersebut sedangkan si perempuan merupakan ibu keduanya.

Soal 11: Ada dua laki-laki di atas loteng rumah. Salah satunya terjatuh dan mati. Anehnya, istri lelaki satunya yang masih hidup menjadi haram baginya?

Jawab 11: Sesungguhnya lelaki yang terjatuh sampai mati menikahkan anak perempuannya kepada budaknya yang menemaninya di atas loteng. Ketika laki-laki tersebut meninggal, maka anak perempuannya memiliki budak yang merupakan suaminya sendiri. Maka, perempuan tersebut haram baginya.

Sampai di sini, Khalifah Ar-Rasyid yang ikut hadir dalam diskusi tersebut tidak mampu menyembunyikan kekagumannya terhadap kecerdasan Imam Syafi’i, kecepatannya mendaapt ide, ketajaman pemahamannya, dan bagus daya tangkapnya.

Dia berkata, “Alangkah hebatnya keturunan Bani Abdi Manaf ini. Sungguh, engkau menejlaskan dengan sebaik-baiknya, engkau menafsirkan dengan sejelas-jelasnya, dan engkau membuat redaksi dengan fasih.”

Lalu Imam Syafi’i berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memanjangkan umur Amirul Mukminin. Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada para ulama ini. Jika mereka mampu menjawab pertanyaan tersebut, maka Alhamdulillah. Akan tetapi, jika mereka tidak mampu menjawab, maka saya mohon kepada Amirul Mukminin untuk mencegah kejahatan mereka terhadap diriku.

Khalifah Ar-Rasyid menanggapi, “Baiklah, kupenuhi keinginanmu. Silakan ajukan pertanyaan kepada mereka sesuai yang engkau kehendaki, wahai Syafi’i!”

Lalu Imam Syafi’i berkata, “Ada seorang laki-laki wafat meninggalkan 600 dirham. Saudara perempuannya hanya memperoleh satu dirham saja dari harta peninggalan tersebut. Bagaimana cara pembagian harta warisan ini?”

Ternyata para ulama tersebut saling berpandangan satu sama lain cukup lama. Tidak satu pun di antara mereka mampu menjawab pertanyaan tersebut. Keringat pun bercucuran dari dahi mereka.

Ketika mereka terdiam cukup lama, maka Khalifah berkata, “Ya sudah, sampaikan jawabannya kepada mereka!”

Lantas Imam Syafi’i angkat bicara setelah orang-orang yang ingin menghilangkan posisi Imam Syafi’i di mata Khalifah yang sangat mengaguminya lantaran ilmu dan ketakwaannya akhirnya mati kutu.

Beliau berkata, “Laki-laki tersebut wafat meninggalkan dua orang anak perempuan, ibu, seorang istri, dua belas saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuan mendapat bagian dua pertiga, yaitu sebesar 400 dirham, ibu mendapat bagian seperenam, yaitu sebesar 100 dirham, istri mendapat bagian seperdelapan, yaitu sebesar 75 dirham, kedua belas saudara laki-laki mendapat bagian 24 dirham dan tersisa satu dirham untuk saudara perempuan.”

Khalifah Ar-Rasyid tersenyum dan berujar, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan banyak keluargaku seperti engkau.”

Khalifah memberikan 2000 dirham kepada Imam Syafi’i. Kemudian Imam Syafi’i menerimanya lalu membagikannya kepada para pelayan dan pembantu istana.

Syaikh Al-Khatib Al-Baghdadi


Nama dan Nasabnya

Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Muhdi yang masyhur dengan Al-Khatib Al-Baghdadi, si pemilik berbagai karya dan imam para hafizh.

Kelahiran Al-Khatib Al-Baghdadi

Beliau dilahirkan pada hari kamis, 25 Jumadil akhir 392H.

Pertumbuhannya

Ayah beliau bernama Abul Hasan Khatib adalah penduduk Darzijan (sebuah desa di negri Irak) beliau adalah seorang yang ahli baca Al-Quran dengan bacaan Hafsh Al-Kattani.

Ayahnya mendorongnya untuk belajar hadits dan fikih. Oleh karenanya ia sudah belajar ketika umurnya menginjak sebelas tahun. Ia pergi menuntut ilmu di Bashrah pada saat umurnya menginjak dua puluh tahun, pergi ke Naisabur pada saat umurnya menginjak dua puluh tiga tahun dan saat pergi ke Syam pada saat umurnya sudah tua. Ia juga pergi ke kota Makkah dan kota selainnya yang telah disebutkan diatas.

Ia telah menulis banyak kitab, dalam hal ini ia telah melebihi teman-temannya. Ia menyusun dan mengarang, menetapkan yang shahih dan yang tidak shahih, menetapkan perowi yang adil dan yang tidak adil, dan menulis sejarah dan penjelasannya, sehingga ia menjadi Al-hafizh yang paling tinggi pada masanya.

Sanjungan Ulama Pada Masanya

Ibnu Makula mengatakan : “Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi adalah tokoh terakhir yang kami saksikan yang mempunyai pengetahuan, hafalan dan ketelitian terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. ia sangat menguasai masalah ilat-ilat hadits (kesalah-kesalahan yang samar), sanad-sanadnya, shahih dan gharibnya (aneh) dan segala yang berkaitan dengannya. Diantara orang-orang Baghdad, setelah Abul Hasan Ad-Daruqutni, tidak ada seorangpun yang menyamainya. Aku tanya kepada Abu Abdillah Ash-Shuwari tentang Al-Khatib dan Abu nash As-Sajzi, manakah yang hafal hadits dari keduanya?, dengan tegas ia melebihkan Al-Khatib dari pada Abu Nashr”.

Al-Mu’taman as-Sajihi mengatakan: “Setelah Ad-Daruquthni, Baghdad tidak lagi memerlukan ulama yang hafal hadits melebih Abu Bakar Al-Khatib”.

Abu Ali Al-Bardani mengatakan: “Barangkali Al-Khatib sendiri tidak melihat seorangpun yang menyamainya”.

Perjalanannya dalam menuntut ilmu

Telah disebutkan perkataan Adz-Dzahabi bahwa Al-Khatib mulai belajar pada saat umurnya menginjak sebelas tahun. Ia pergi menuntut ilmu di Bashrah saat umurnya menginjak dua puluh tahun, pergi ke Naisabur saat umurnya menginjak dua puluh tiga tahun dan pergi ke Syam saat umurnya sudah tua. Ia juga pergi ke kota-kota selain yang telah disebutkan.

Adz-Dzahabi juga mengatakan: “Di Akbara, Al-khatib berguru kepada Al-Husain bin Muhammad Ash-Shaigh yang meriwayatkan hadits kepadanya dari Nafilah Ali bin Harb. Sementara di kota Bashrah ia berguru kepada Abu Umar Al-Hasyimi (guru dalam bidang Hadits), Ali al-Qasyim Asy-Syahid, Al-Hasan bin Ali As-Saburi dan sejumlah ulama lainnya”

Di Naisabur, ia berguru kepada Al-Qadhi Abu Bakar Al-Hiyari, Abu Said Ash-Shairafi, Abul Qasim Abdurrahman as-Siraj, Ali bin Muhammad Ath-Thirazi, Al-Hafizh Abu Hazim Al-Abdawi dan sejumlah ulama yang lainnya. di Asfahan ia berguru kepada Abul Hasan bin Abdi Kawih Abu Abdillah Al-Jamal, Muhammad bin Abdillah bin Syahriyar dan Al-Hafizh Abu Nu’aim, dan di beberapa tempat lainnya.

Akidah Beliau

Adz-Dzahabi mengatakan: “Abdul Aziz bin Ahmad Al-Kattani berkata: “Pada tahun 412 H ia meriwayatkan hadits kepada gurunya yang bernama Abu Al-Qasim Ubaidullah Al-Azhari, gurunya yang lain yaitu Al-Baraqani juga menulis dan meriwayatkan hadits darinya. Dalam ilmu fikih, ia berguru kepada Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari dan Abu Nashr bin Ash-Shabbagh. Dalam bidang akidah ia mengikuti akidah Abul Hasan Al-Asy’ari”.

Adz-Dzahabi mengatakan: “Apa yang dikatakan oleh Ahmad Al-Kattani adalah benar, karena mengenai sifat-sifat Allah ta’ala al-Khatib sendiri telah menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut telah kita pahami sebagaimana apa adanya tanpa menanyakan “bagaimana?” Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah madzhab Al-Asy’ari yang ia yakini sampai meninggalnya, sebagimana juga madzhab Imam Ahmad dan semua ulama hadits dan sunnah dalam berbagai masa”.

Ibadah dan Kemuliaannya

Ghaits bin Ali mengatakan: “Abu Al-Faraj al-Isfarayani mengatakan kepadaku: “Al-Khatib pernah haji bersama kami, setiap hari dia menghatamkan Al-Qur an dengan bacaan tartil, setelah menghatamkannya orang-orang berkumpul padanya, sementara ia berada dalam kendaraan dan mereka berkata: “Riwayatkanlah hadits kepada kami”, lalu ia meriwayatkan hadits kepada mereka”.

Ibnu Nashir mengatakan: “Abu Zakariya At-Tabrizi al-Lughawi berkata: “Aku memasuki Damaskus lalu aku membaca kitab-kitab sastra arab di bawah bimbingan al-Khatib di dalam masjid, lalu naiklah Al-Khatib kepadaku , ia berkata: “Aku ingin mengunjungimu di rumahmu”.

Kami berbincang-bincang sesaat, kemudian ia mengeluarkan secarik kertas dan berkata: “Hadiah adalah sunnah”. Al-Khatib pergi dan aku mengamati pemberiannya itu ternyata itu adalah uang senilai lima dinar mesir. Pada waktu yang lain, ia kembali naik ke atas dan meletakan uang yang sama. Apabila ia membaca hadits di masjid jami’ Damaskus, maka suaranya terdengar sampai di akhir masjid. Dia membacanya dengan dialek arab yang benar.

Wafatnya Beliau

Makki Ar-Ramli mengatakan: “Al-Khatib sakit pada pertengahan bulan Ramadhan 463 H. Kondisi kesehatanya semakin parah pada awal bulan Dzulhijjah hingga beliau meninggal pada tanggal 7 Dzulhijjah”.

Imam As-Suyuthi Ulama Serba Bisa

“Ilmuku (luasnya) bagaikan lautan yang bergelombang karena deburan ombak.”



Allah selalu menjaga keutuhan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui keberadaan parahuffazh hadits yang menghafal hadis-hadis Nabi. Kalbu-kalbu mereka menjadi wadah penyimpan ilmunya.

Usaha yang mereka lakukan tidaklah mudah, membutuhkan ketelitian, ketekunan, kecerdasan, dan daya ingat yang kuat. Kesibukan mereka untuk menepis dusta atas nama Nabi melalui penyeleksian antara hadis yang sahih dan hadis yang bermasalah (lemah, palsu, dan lain-lain), menyebarkan hadis yang benar-benar dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan umat dari hadis-hadis lemah dan palsu agar diwaspadai dan disingkirkan dari umat.

Di antara tokoh terkemuka yang dianggap sebagai pakar hadis pada masanya, yaitu Imam Al-‘Allamah Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi.

Ulama ini, pada zamannya, dikenal sebagai seorang yang alim dalam bidang hadis dan cabang-cabangnya, baik yang berkaitan dengan ilmu rijal, sanad, matan, maupun kemampuan dalam mengambil istimbat hukum dari hadis.

Beliau lahir setelah waktu magrib, malam Ahad, pada permulaan tahun 849 H di daerah Al-Asyuth, atau juga dikenal dengan “As-Suyuth”. Secara lengkap, ia bernama Abdur Rahman bin Kamaluddidn Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin Abu Bakar bin Fakhruddin Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khidr bin Najmuddin Abu Ash-Shalah Ayyub bin Nashiruddin Muhammad bin Syekh Hammamuddin Al-Hammam bin Al-Kamal bin Nashiruddin Al-Mishri Al-Khudhairi Al-Asyuthi Ath-Thalani Asy-Syafi’i.

Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang pindah ke Mesir di distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan kemudian bermukim di daerah Al-Asyuth, sebelum kelahirannya. Namun, ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa ayahnya berdarah Arab.

Allah menganugerahkan kepadanya kemudahan untuk meraih ilmu sejak kecil, kecerdasan di atas rata-rata, dengan lingkungan yang kondusif. Dia hidup di lingkungan keluarga yang kental nuansa ilmiahnya.

Sewaktu kecil, ayahnya pernah membawanya ke majelis Syekh Muhamamd Al-Majdzub dan memperoleh doa keberkahan darinya. Dia juga sempat diajak ke majelis Al-Hafizh Ibnu hajar dan mendapatkan ijazah (rekomendasi periwayatan umum) darinya.

Pada umur lima tahun, sang Ayah meninggal dunia, sehingga ia tumbuh dalam keadaan yatim. Setelah itu, ia berada di bawah pengasuhan beberapa ulama besar pada masa itu. Di antaranya, Kamaluddin bin Al-Hammad. Di tangan ulama ini, As-Suyuthi kecil menghafal Alquran saat berusia delapan tahun. Demikian pula, kitab Al-Umdah, Minhajul Fiqh wal Ushul, dan Alfiyah Ibnu Malik menjadi kitab-kitab berikutnya yang ia hafal di luar kepala.

Menjadi bagian kenikmatan yang diraih oleh As-Suyuthi, ia hidup pada masa ulama besar yang sangat mendalami bidang-bidang ilmu yang beragam. Hal ini membekaskan pengaruh yang dalam pada diri ulama besar ini dalam aspek luasnya wawasan dan penguasaan ilmiahnya.

As-Suyuthi memulai kesibukannya mencari ilmu dalam usia empat belas tahun. Dia mengaku, “Aku mulai menyibukkan diri dengan pendalaman ilmu agama sejak permulaan tahun 864 H. Aku pelajari fikih dan nahwu dari sejumlah guru. Aku mengkaji ilmu faraidh (ilmu pembagian warisan) dari Allamah Syihabuddin Asy-Syamashai. Dengan Syekh ini, aku mempelajari kitab Al-Majmu. Pada tahun 866 H, aku sudah mendapat rekomendasi untuk mengajar Bahasa Arab dan sempat menulis kitab pertamaku yang berjudul Syarah Al-Isti’adzah wal Basmalah.”

Adapun untuk ilmu fikih, ia pelajari dari Sirajuddin Al-Bulqini. Tafsir, ia reguk dari Asy-Syaraf Al-Manawi. Ilmu Bahasa Arab, ia pelajari dari Taqiyyuddin Asy-Syumani dan Muhyiddin Ar-Rumi.

Berkaitan dengan ilmu hadis, ia menjumpai ulama-ulama senior dalam bidang itu, sehingga ia dapat mempelajari kitab ummahatu kutubil hadits (buku-buku induk hadis) dan mushthalah kepada ulama-ulama yang kompeten dalam bidang tersebut, misalnya: Taqiyyuddin Asy-Syibii, Qasim bin Qathlu Bugha, dan Taqiyyuddin bin Fahd. Ia mempelajari kitab Shahih Muslim dari Syamsuddin As-Sakrafi. Ia mengkaji kitab Nakhbatul Fikr di hadapan At-Taqiyyi Asy-Syumani.

Para guru As-Suyuthi juga tidak terbatas kaum lelaki saja. Dia juga sempat belajar dari beberapa guru wanita yang ahli dalam bidang hadis maupun fikih pada masa itu. Di antaranya: Ummu Hana Al-Mishriyyah, Aisyah bin Abdil Hadi, Sarah binti As-Siraj bin Jama’ah, Zainab binti Al-Hafizh Al-Iraqi, dan Ummu Fadhal binti Muhammad Al-Maqdisi.

Guna menimba ilmu, dia tak segan-segan berkeliling kota di banyak negeri, untuk menjumpai ulama-ulama lainnya yang ahli di bidangnya. Kota-kota di Syam, Hijaz, India, Maroko, Sudan pernah ia jelajahi.

Tatkala sampai di Mekkah, pada Rabiul Awwal 869 H, untuk menunaikan ibadah haji, ia meneguk air zamzam seraya memanjatkan doa agar mencapai derajat ilmiah dalam fikih sekelas Sirajuddin Al-Bulqini dan dalam bidang hadis sekelas Al Hafizh Ibnu Hajar.

Dalam perjalanannya menuntut ilmu agama, ia mempunyai prinsip dalam mencari ilmu, yaitu menerapkan dua manhaj talaqqi ilmu (metode mencari ilmu). Pertama, memilih satu guru dan bermulazamah kepada guru tersebut dalam waktu yang cukup atau sampai sang Guru meninggal.Kedua, dalam mencari ilmu, ia tidak membatasi diri pada syekh-syekh tertentu saja. Walaupun ia seseorang yang bermazhab Syafi’i dalam bidang fikih, ternyata itu tidak menghalanginya untuk mendalami fikih dari Izzudin Al-Hanafi.

Berkat ketekunan dan ketelatenannya dalam memperdalam ilmu, akhirnya, As-Suyuthi mampu menguasai ilmu agama. Tidak hanya dalam satu disiplin ilmiah ia menjadi kampiun, tetapi lebih dari satu disiplin ilmiah.

Dia pernah berkata, “Aku dikaruniai kedalaman ilmu dalam tujuh bidang, yaitu: tafsir, hadis, fikih, nahwu,al-ma’ani, al-bayan, dan al-badi.”

Dalam kesempatan lain, ia berkata tentang dirinya, “Kalau aku mau, aku akan menulis sebuah karya tulis dalam setiap permasalahan, lengkap dengan keterangan para ulama dan dalil-dalilnya yang naqliatau pun qiyasi serta komparasi (perbandingan) antar-mazhab, namun itu semua dengan pertolongan dari Allah, bukan lantaran kemampuan atau kekuatanku.”

Pertama kali ia mengeluarkan fatwa terjadi pada tahun 871 H. Ketika itu, kemampuan ilmiahnya sudah banyak, sehingga banyak pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari banyak tempat. Dari sini, ia mulai berfatwa dan menjawab permasalahan agama. Fatwa-fatwa ulama ini bisa dijumpai melalui kitabnya yang berjudul Al-Hawi.

Beliau masih memberikan fatwa sampai beliau meninggalkan gelanggang ini dan memilih hidup menyendiri di kediamannya di Raudhah.

Ada beberapa jabatan yang ia pegang pada masa hidupnya. Semuanya tidak lepas dari dunia keilmuan. Pertama kali, ia mengajar Bahasa Arab dengan rekomendasi gurunya yang bernama Taqiyyuddin Asy-Syumani. Kemudian, kesibukannya mengajar mulai bertambah di Jami’ Asy-Syaukani, Jami’ Thalani, dan secara khusus mengajar hadis di Syaikhuniyah.

Hubungannya dengan para Khalifah Abbasiyah terjalin dengan baik, tumbuh berdasarkan rasa kasih sayang. Sikap saling menasihati dan memberi pengertian menghiasai persahabatan mereka. Dia menjalin hubungan yang baik ini lantaran meyakini harusnya kakhilafahan berada di tangan orang-orang keturunan Suku Quraisy. Adapun hubungan dengan para penguasa Daulah Mamalik yang menguasai Mesir, ia sangat menjaga diri.

Dia sempat menjumpai lima belas penguasa Daulah Mamalik dan berhubungan juga dengan mereka, tetapi dengan penuh kewaspadaan diri dan menjaga ‘izzah (harga diri, ed.). Hingga kemudian ia tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan mereka. Dalam hal ini, dia menulis kitab Ma Rawhu As-Salathin fi Adami Al-Maji ila As-Salathin.


Salah seorang penguasa Daulah Mamalik sering memintanya untuk datang ke istana, tetapi ia tidak pernah menyambut permintaan itu. Sampai ada yang berkomentar kepadanya, “Sesungguhnya, sebagian orang alim kerap datang kepada penguasa dan raja untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.” As-Suyuthi menjawab, “Petunjuk salaf yang menganjurkan untuk tidak sering-sering mengunjungi mereka. Itu adalah lebih baik.”

Meski begitu, ternyata tokoh-tokoh negara tetap mengunjungi ulama ini. Demikian juga orang-orang kaya. Sering, dalam kunjungan itu, mereka menawarkan harta benda, namun As-Suyuthi menolaknya dan mengembalikannya kepada sang pemilik.

Pada usia empat puluh tahun, ia mengundurkan diri dari kegiatan mengajar, untuk menyendiri. Permohonan diri ini ia tulis dalam bukunya, At-Tanfis. Setelah itu, kesibukannya lebih banyak untuk ibadah, mengkaji ulang tulisan-tulisannya, dan menjauhi serba-serbi dunia.

Pada akhir usianya, ia ditimpa penyakit yang ganas, bengkak pada lengan kirinya. As-Suyuthi meninggal karena pengaruh penyakitnya ini. Beliau menutup usianya pada malam Jumat, 19 Jumadil Ula 911 H, di kediamannya di Raudhah, dekat dengan sungai Nil, dalam usia 61 tahun dan 10 bulan. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang.

Popular Posts

Flag Counter